Powered By Blogger

Sabtu, 12 Februari 2011

Sejarah komik

Komik pertama kali muncul ialah pada tanggal 18 oktober 1896, sewaktu itu Richard Outcault mengeluarkan komik pertamanya berjudul "Yellow Kid" yang dikenal sebagai karakter komik modern pertama, permunculan pertamanya dimuat diNewyork Journal pada akhir tahun 1902, akhirnya sunday journal merelease buku tentang karakter tersebut sharaga 50 sen dan menjadi buku komik terbaik pada masa itu .. komik tersebut juga sudah berwarna.

Bagi kebanyakan orang Indonesia yang sempat menikmati dan hidup di era 80-an, mungkin tak ganjil jika mendengar nama Gundala Putra Petir, Godam atau Si Buta dari Goa Hantu. Ketiganya merupakan hero komik Indonesia yang sempat berjaya di zamannya. Sebelum akhirnya komik-komik dari Negeri Sakura menggesernya dan mendominasi rak-rak di toko buku komik di Nusantara.

Komik, tak bisa dipungkiri lagi, merupakan bagian dari kehidupan manusia. Ia adalah produk budaya pop yang digemari oleh pembaca dari.latar belakang sosial beraneka. Meski sering diasosiasikan dengan bacaan anak-anak, kini makin banyak orang dewasa yang turut menggilainya.

Maka dari itu, menarik sebenarnya untuk membahas bagaimana perjalanan komik. Ya, tulisan ini akan mengulas tentang kemunculan dan sejarah komik.

Namun sebelum menuju ke arah sana, perlu kiranya dijelaskan terlebih dulu mengapa komik disebut sebagai ’komik’? Hal ini penting karena dari definisi akan terlihat batasan-batasan dan klasifikasi terhadap apa yang disebut komik dan apa yang bukan komik.

Apa itu komik?

Pengertian komik dalam kamus Advanced English-Indonesian Dictionary (1991:169) amat mengecewakan dan tak memberikan detail definisi yang memuaskan. Di sana, komik hanya memiliki arti kata; 1. lucu 2. berkenaan dengan komedi atau lawakan.

Sedangkan Kristian Williams dalam jurnal ilmiahnya berjudul The Case for Comics Journalism menyebutkan, “comics are not merely a collection of images, but a collection of images placed in deliberate –though not necessarily chronological- order” (Williams, 2005:53).

Kemudian muncullah dua komikus AS, Will Eisner dan Scott McCloud yang berani mengakui komik sebagai salah satu bentuk ”seni” yang patut disepadankan dengan bentuk-bentuk seni yang lain. Maestro komik AS, Will Eisner menggunakan istilah seni berturutan untuk menjelaskan apa itu komik (McCloud, 2008:5).

Definisi komik makin lengkap dan spesifik ketika Scott McCloud menulis buku Understanding Comics. Komik sebagai kata benda, menurutnya adalah, gambar-gambar serta lambang-lambang yang terjukstaposisi dalam turutan tertentu, untuk menyampaikan informasi dan/atau mencapai tanggapan estetis dari pembacanya (McCloud, 2008:9). Sementara peneliti komik Marcel Bonnef (2008:7) menyebut komik sebagai ”sastra gambar”.

Kemunculan dan Sejarah Komik
Jika definisi komik menurut Scott McCloud dipakai, berarti komik sebenarnya sudah muncul beribu-ribu tahun lalu. Bahkan jauh sebelum Masehi. Tepat di Negeri Sphinx, ditemukan sebuah lukisan dalam kuburan Menna, seorang penulis di jaman Mesir Kuno (McCloud, 2008:14). Diperkirakan warisan “komik” itu dilukis pada 1.300 SM.
Gb.1 Lukisan dalam kuburan Menna.
Lukisan tersebut berkisah tentang petani yang sedang memanen ladang gandum. Cara bertutur dan membacanya zig-zag, dimulai dari bawah lalu ke atas.
2.700 tahun kemudian, ditemukan ”komik” di Meksiko. Sebuah gambar berwarna berjudul ”Kuku Macan” 8 Rusa ini ”ditemukan” sekitar tahun 1519. Sketsa sepanjang 36 kaki (12 meter) ini menceritakan seorang pahlawan militer dan politikus besar pada tahun 1049 (McCloud, 2008:10).

Lalu di benua Eropa, Prancis tepatnya ada ”komik” yang dinamai Permadani Bayeux. Permadani selebar 230 kaki (76 meter) ini menggambarkan penaklukan Norman atas Inggris yang berawal pada 1066 (McCloud, 2008:12-13). Cara membacanya dimulai dari kiri ke kanan.
Selain itu di negara yang sama, 17.000 tahun silam di Gua Lascaux sebenarnya juga telah ditemukan “komik” kuno. Para arkeolog menemukan gambar-gambar berwarna di dinding gua yang berada di Prancis Selatan itu. Seperti gambar banteng, bison dan kerbau.

Namun Marcel Bonnef (2008:16) menilai temuan gambar di dinding Gua Lascaux masih terlalu prematur jika dianggap sebagai bentuk arkais dari komik. Dan ini berlaku juga untuk semua ”komik” kuno yang telah dijelaskan tadi. Karena menurutnya pengertian komik masih, ”sedang diusahakan untuk didefinisikan secara jelas”(Bonnef, 2008:16).

 Era Komik Modern
Memasuki era renaissance, kerumitan cerita bergambar mulai berkembang dan mencapai puncak keemasan di tangan cekatan William Hogarth (McCloud, 2008:16). Judulnya Harlot’s Progress, muncul tahun 1731. Karya Hogart ini lebih mirip rangkaian lukisan dan ukiran yang dipandang berdampingan dan berangkaian. 
1873, Rudolphe Topffer yang asli Swiss menyelesaikan komiknya berjudul The Adventures of Obadiah Oldbuck. Untuk pertama kalinya di Eropa, ia menggunakan kartun dan panel-panel pembatas, serta menyelaraskan kata-kata dengan gambar sehingga saling mendukung satu sama lain (McCloud, 2008:17). Ia lalu didaulat sebagai bapak komik modern.






Gb.2 Beberapa panel komik karya Rudolphe Topffer



Lalu pada tahun 1884 di AS, Ally Sloper membuat komik strip berjudul “Half Holiday”. Karya ini di kemudian hari diklaim sebagai pelopor komik strip majalah di dunia. Lalu muncul “Hogan’s Alley” karya Richard Felton Outcault yang dianggap sebagai kebangkitan pertama komik AS. Satu tahun setelahnya Outcault baru menerbitkan “The Yellow Kid” yang fenomenal itu.
Memasuki abad ke-20, sekitar tahun 1930-an, di AS mulai muncul komik-komik ber-genre superhero dengan ciri khas pakaian ketat dan berotot. Diawali dari Superman (1938), tokoh-tokoh superhero lainnya lahir mengikuti: Spiderman, Fantastic Four, Batman. Sementara di Eropa dan Asia, komik drama petualangan, Tintin (1929) karangan Herge dan komik superhero Jepang, Astroboy (1952) karya Ozamu Tezuka lahir.

Komik yang semakin digemari ternyata pernah mengalami masa suram. Di AS khususnya, pada tahun 1950-an. Gelombang kebencian dan pembakaran secara massal terhadap komik makin marak. Buku-buku komik dibakar di jalan-jalan di AS.
Pemicunya adalah buku Seduction of the Innocent karangan psikiater Fredric Wertham. Buku Wertham menyatakan komik mengandung segala keburukan, mulai dari kejahatan remaja sampai penyimpangan seksual sampai kebencian ras (McCloud,2008:86). Kemarahan masyarakat AS saat itu jatuh kepada komik-komik favorit ber-genre: seram, kriminal dan horor.
Fenomena tersebut kemudian memaksa suprastruktur AS memunculkan standar dan regulasi tentang komik yang disebut The Comics Code. Aturan inilah yang kemudian membatasi para penulis komik untuk berkreasi dalam mengeksplorasi tema dan gambar. Praktis pada tahun-tahun 60 hingga menjelang 80-an, komik-komik AS hanya didominasi oleh tema superhero.Tokoh-tokoh superhero hadir seperti diulang-ulang dan tak memiliki nilai kebaruan (baca: berotot, berpakaian ketat, yang baik selalu menang-yang jahat selalu kalah).
Baru pada 1980-an beberapa seniman komik AS mulai ”iseng” meredefinisi genre tersebut. Mereka yang paling memahami pahlawan super mulai mendekonstruksi superhero, dan berharap dapat memberi nafas baru ke dalamnya dengan melanggar hampir semua ”aturan” yang sudah tahan uji (McCloud, 2008:117).

Contohnya : The Dark Knight Returns karya Frank Miller. Batman dikarakterisasikan sebagai seorang pahlawan yang sudah berusia uzur plus pemarah. Lalu ada Watchmen, kisah sekelompok pahlawan “urakan” ciptaan Alan Moore dan Dave Gibbons.


    Gb.3 dan Gb.4 Batman dalam Dark Knight Returns  

(Frank Miller) dan Rorschach dalam Watchmen (Alan Moore dan Dave Gibbons).
Genre komik makin kaya memasuki tahun 90-an. Komik otobiografi seperti Peepshow, Yummy Fur, Palookaville asal Kanada kemudian menemukan pembaca dan pasarnya sendiri. Tema kemanusiaan, humor yang ada pada komik Bone, Akiko, Castle Waiting, Scary Godmother juga hadir memberi suntikan baru bagi buku komik fantasi (McCloud,2008:112). Komik bidang olahraga (Shoot!), jurnalistik (Palestine), atau komik erotis (Golden Boy, komik-komik Hentai) semakin memberi keleluasaan bagi pembaca untuk mencecap karya yang beragam tema.

Sekilas Komik Indonesia

Di Indonesia sendiri, kehadiran komik muncul dari pengaruh agama-agama. Di antaranya Hindu, Budha dan Islam. Relief di Candi Borobudur misalnya, di situ diperlihatkan adegan-adegan bagaimana ajaran Budha kepada manusia untuk mencapai nirwana. 
Sementara di Prambanan diperlihatkan pahatan-pahatan relief kisah Ramayana. Lalu ada Sunan Kalijaga yang memperkenalkan Islam lewat kesenian wayang. Patut diketahui, kesenian wayang menurut Marcel Bonnef (2008:19) merupakan cikal bakal komik juga. Karena wayang, ujarnya, menampilkan tipe penceritaan dengan sarana gambar.
Komik mulai memasuki Indonesia lewat media massa. Sebelum Perang Dunia II, harian berbahasa Belanda, De Java Bode (1938), memuat komik karya Clinge Doorenbos yang berjudul Flippie Flink dalam rubrik anak-anak (Bonnef, 2008:19). Lalu ada Flash Gordon yang termasyur itu diterbitkan oleh mingguan Orient. Komik strip karya Kho Wang Gie mulai muncul di media massa China, Sin Po pada 1930. Setahun berikutnya, komik strip berjudul Put On muncul di surat kabar yang sama. Put On yang mengisahkan kejenakaan seorang Cina gendut sebagai tokoh sentral, berhasil memikat warga Jakarta pada saat itu.
Sedangkan untuk komik hasil karya anak negeri yang muncul saat itu adalah Mentjari Puteri Hidjau karya Nasrun A.S. Komiknya dimuat di mingguan Solo, Ratu Timur. Lalu masih ada Pak Leloer (1942), dan Roro Mendut di Sinar Matahari yang telah terbit sejak pendudukan Jepang.
Demam komik bergenre superhero tampaknya tak hanya terjadi di AS. Indonesia juga mengalami endemi serupa. Komik Sri Asih (kerap dianggap sebagai jiplakan superhero AS, Wonder Woman) terbit pada 1954. Ada pun komikusnya R.A Kosasih sekarang dianggap-dan memang sepatutnya-sebagai ”bapak” komik Indonesia (Bonnef,2008:24). Selain itu lahir pula Puteri Bintang dan Garuda Putih karangan Johnlo.
Untuk seterusnya komik Indonesia pernah mengalami masa ”menceritakan kembali” perjuangan dan nasionalisme a la Soekarno. Yaitu pada tahun 1963-1965. Lepas dari masa penuh politisasi, komik Indonesia mulai menemukan kebebasannya pada 1964-1966. Di mana tema roman remaja menjadi dominan pada masa itu. 
Pasca kejadian 30 September 1965, komik Indonesia makin tak menentu nasibnya. Hal ini dipengaruhi karena adanya pengawasan ketat terhadap segala jenis bacaan. Terutama literatur yang menyinggung paham komunisme.
Baru memasuki 80-an, komik Indonesia mengalami kemunduran. Jagoan-jagoan semacam Pandji Tengkorak, Si Buta dari Gua Hantu, Gundala Putra Petir, Godam mulai turun pamornya. Ini diakibatkan oleh masuknya ”serangan bertubi-tubi” komik Barat. Apalagi di tahun 90-an, dengan masuknya komik Negeri Matahari Terbit makin menenggelamkan komik karya anak negeri.

Gb.5 Gundala Putra Petir karya Hasmi.

Meski begitu, baru memasuki abad 21, industri komik Indonesia mulai menggeliat lagi. Beberapa penerbit di Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap perkembangan komik dalam negeri mulai menerbitkan karya komikus lokal. Di antaranya: Benny & Mice, Pandji Koming, Mat Jagung: Jaksa Nanggung Pemberantas Korupsi, Sawung Kampret.


Referensi 
Bonneff, Marcel. 2008. Komik Indonesia. Jakarta: KPG.
McCloud, Scott. 2008. Reinventing Comics: Mencipta Ulang Komik, Bagaimana
Imajinasi dan Teknologi Merevolusi Seni Komik. Jakarta: KPG.
McCloud, Scott. 2008. Understanding Comics: Memahami Komik. Jakarta: KPG.
Salim, Drs. Peter. 1991. Advanced English-Indonesian Dictionary: Third Edition.
Jakarta: Modern English Press.
Williams, Kristian. 2005. The Case for Comics Journalism: Artist-reporters leap tall
conventions in a single bound. Di dalam Columbia Journalism Review Mar/Apr
2005 Edition. Hlm 53.
Sumber Gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar